Tuesday 17 September 2013

Bandung I'm in Love # 6

 Cerita sebelumnya di sini

Terhitung sejak tanggal 25 Agustus 1999, daku dan Lita resmi menjadi anak kostan di daerah Cisitu - Dago. Tepatnya di belakang Hotel Sangkuriang yang tak jauh dari Simpang Dago yang cukup strategis. Kami memutuskan untuk kost didaerah ini, atas petunjuk Mas Bambang, Kakaknya Lita yang sempat mengenyam pendidikan di ITB sebelumnya. Daerah kost-kostan ini mayoritas dihuni oleh anak-anak ITB. Kostan kami ini khusus wanita, terkadang sempat merasa penghuni kostan kami ini semua jadi primadona buat tetangga-tetangga kostan sebelah kanan kiri yang hampir semuanya berisikan mahasiswa ITB laki-laki. Dimana kalau kami semua lewat, suka terdengar siulan dari dalam rumah kost mereka.

Kami langsung jatuh cinta dengan rumah ini, begitu kami datang ingin survey di hari pencarian kost berikutnya, saat itu rumah ini baru saja berhias habis dicat warna salem, matching dengan gorden dan bantal kursi isi rumahnya, jadi terkesan baru dan hommy.

Kamar pilihanku bersebelahan dengan kamar Lita di lantai dua. Kamar kostan kami ini berada di dalam rumah induk milik pasangan muda, Teh Yanti dan A' Ajid, yang belum memiliki anak. Di rumah ini total terdapat 8 buah kamar. 6 Kamar yang dijadikan kamar kostan. Satu kamar utama yang ditempati oleh Teh Yanti dan A' Ajid sendiri, satu kamar lainnya ditempati oleh Deasy dan Dian, adik kandung Teh yanti yang masih SD. Dua kamar kost yang menghadap ke ruang tamu ditempati oleh Mbak Muti yang sedang mengambil gelar doktor di ITB, dan Mbak Maria yang mengambil gelar master di ITB juga. Keduanya adalah dosen di Universitas Negeri Jakarta, Dua kamar kost yang lain berada di ruang belakang, posisi kamar ini saling berhadapan, ditempati oleh Teh Arini yang ku panggil Teh Ii, yang baru saja menjadi Sarjana Farmasi dan melanjutkan program profesi apoteker Unpad. Lalu Teh Dhira mahasiswi Tehnik Perminyakan ITB '97.

Tinggal bersama dengan mereka dalam satu rumah kost-kostan ini membuat iklim belajar yang sangat kondusif buat kami. Daku dan Lita langsung merasa betah dan nyaman di sini. Karena diantara semua penghuni kost, kamilah angkatan termuda dan menjadi anak bawang yang selalu mendapatkan curahan perhatian. Teh Yanti dan A'Ajid berasal dari keluarga yang sangat taat beragama, menjadikanku merasa seperti di rumah sendiri. Setiap menjelang shubuh dan sehabis maghrib sering mendengar A'Ajid mengaji, begitupun setiap malam jum'at sehabis maghrib, lantunan Surah Yasin biasa terdengar. Mbak Muti, yang bijak keibuan senantiasa mengingatkan kami jikalau kami mulai 'bandel'. Teh Dhira yang digempur dengan banyak tugas, ujian, dan menjadi asisten dosen memberikan contoh baik kepada kami untuk tidak melupakan tugas kami disini sebagai mahasiswi.

Mbak Maria yang sedang hamil anak kedua, sudah jarang stay lama di kostan, paling dalam sebulan, bisa dihitung dengan jari menempati kamar kostnya, lebih banyak di Jakarta dan baru di Bandung jika ada kuliah yang wajib dihadirinya. Namun hari-hari dimana Mba Maria menempati kamar kostnya, akan menjadi hari ramai di dalam rumah. Karena masing-masing dari kami ataupun secara bersamaan, menyempatkan 'nongol' ke Kamar Mba Maria, ber-hahahihi karena Mba Maria senang sekali membuat humor yang bikin kami merasa 'gede sebelum waktunya' atau sekedar ingin mengelus perut Mba Maria yang makin menggendut. Bahkan, kami sempat mengadakan pijama's party di Kamar Mba Maria, foto-foto, ngobrol, umpel-umpelan hingga malam, walaupun ujung-ujungnya, kami tidur di kamar masing-masing begitu ngantuk melanda, dan tidak tega jika Bumil ini jadi tidak nyenyak tidurnya, sementara kami pasti akan ada yang mendengkur dan menendang-nendang kondisi tidurnya.

Lalu Teh Ii? Inilah Teteh 'funkey' satu almamater, kamarnya paling lengkap di antara kami semua, kamar favorit buat kami yang isi kamarnya masih seadanya. Kamar Teh Ii' penuh boneka yang bisa kita jadikan bantal empuk-empuk, ada televisi lengkap tape dan cd playernya, biasanya Daku dan Lita sering menumpang nonton Dawson Creek, serial yang selalu kita nanti-nantikan tiap minggunya. Kalau takut mendengarkan Ardan Nitemare dari Kamar masing-masing, kami biasanya turun berkumpul mendengarkan cerita Ardan Nitemare bareng-bareng di Kamar Teh Ii' dan biasanya berakhir pada salah satu dari kita akan menginap bareng. Kalau tidak Lita menginap di kamarku, daku yang menginap di kamar Teh Dhira, semisal malam jumat itu Lita lagi ada di Jakarta. Teh Ii' ini guide kami untuk explore Bandung lebih dalam, darinyalah kami lebih tau salon mana yang murah tapi pelayanan extra, tempat-tempat fashion update namun murah meriah. Ga ada lagi kamus beli celana jeans yang harus dipotong bawahnya karena kepanjangan, tetapi sekarang kami membuat celana jeans sesuai ukuran badan kami masing-masing. Berkenalan dengan Pak Kadim, penjahit andalan Teh Ii di daerah Titiran Dalam belakang Telkom, yang sudah terbukti hasil jahitannya bagus dan enak dipakai. Hingga tempat makan dari mulai steak kaki lima hingga ala cafe.

Seringnya kami malah ditraktir makan malam sama Teh Ii' dan Kak Arief, Pacar Teh Ii' Jurusan Tehnik Kelautan ITB'95. Seperti malem ini, demi menunjukkan kepada kami Restaurant dan Cafe Kampung Daun di jalan Sersan Bajuri atas dekat Lembang, dan kami berdua terbelalak melihat harga makanannya, yang rata-rata per porsi itu seharga dengan jatah uang makan kami 3 x sehari sebagai anak kostan, Teh Ii' dan Kak Arief tertawa, begitu daku dan Lita termangu bingung mau order makan malam apa. Mata kami terpaku hanya pada menu beverages dan daku sudah siap-siap memesan bajigur saja, yang sesuai dengan isi kantong dan udara dingin malam itu. Kak Arief, dengan baik hatinya bilang kalau kami tak perlu sungkan, pilih saja menu makan malam yang mana, malem ini malem istimewa, dia mau mentraktir kami, sepertinya ada uang lebih yang didapat Kak Arief. Selain memiliki usaha warnet bersama teman-temannya, Kak Arief juga Asisten Dosen di kampus. Pantes saja, niat sekali malem itu mengajak kami ke Kampung Daun, yang selama ini daku malah tau dari Ni', Indah, Medya dan Astri. Mereka bilang "Nanti, kalau kita ke Bandung, tolong tunjukkin di mana Kampung Daun yah Fit, katanya tempatnya bagus!" Dan disinilah daku, Kampung Daun, bersaung-saung dengan meja lesehan dan bantal-bantal besar, diterangi lilin, obor-obor dan lampu kuning temaram sepanjang area. Romantis suasananya, indah, bagus memang. Kalau mau dinner disini kita membeli suasanannya. Semakin keatas malah terdengar gemericik air mengalir. Duh, di Jakarta, mana ada tempat seperti ini. Yang ada saat ini maraknya kafe tenda pinggir jalan yang sedang menjamur, tapi tampilannya seadanya. Terlebih di sepanjang margonda. Makin jatuh cinta daku pada Bandung.

----
 

Kostan ini, baru ada kehidupan setelah maghrib. Biasanya semenjak pagi penghuninya hilang. Teh Yanti sibuk mengelola salon miliknya di Jl. Tubagus Ismail, tak jauh dari Simpang Dago. A'Ajid, mengelola toko bahan bangunan milik orang tuanya. Deasy dan Dian sekolah, langsung les dan menjelang sore baru tiba. Teh Ii' paling telat jam 6.00 wib sudah berangkat, demi mengejar Damri menuju Jatinangor untuk kuliah pagi. Daku dan dan Lita, kalau kuliah pagi, harus berangkat minimal 6.45 wib, mengejar perkuliahan pertama di jam 7.00 wib. Kaget juga, karena waktu di UI semua perkuliahan jam pertama itu dimulai jam 8.00 wib. Tapi di Bandung, ternyata rata-rata memulai jam 7.00 wib. Untunglah jarak kostan ke kampus tidak sampai 1 km, sekali naik angkot. Begitu pula dengan klan ITB, Mbak Muti, Mba Maria dan Teh Dhira.

Paling yang lebih fleksibel Mbak Muti, karena waktunya lebih banyak dihabiskan di Lab. Mau berangkat agak siang, jam 8-9, masih bisa. Daku pernah ikut ke Lab untuk melihat penelitiannya. Penasaran dengan objek penelitian Mba Muti untuk disertasinya nanti. Kalau daku tidak salah, Mbak Muti sedang meneliti virus thyphoid, tujuan akhirnya untuk membuat vaksin thyphoid, dimana jika si penderita sudah terkena thyphoid, dikemudian hari si penderita memiliki kekebalan tubuh dan tidak terkena penyakit itu lagi. Seperti varicella, sekali terkena varicella, lalu kebal dikemudian hari. Daku melihat banyak cawan petri, beralaskan jelly/agar-agar putih, sebagai media si virus untuk berkembang dan diamati. Mbak Muti cerita, kalau tahap ini sangat sulit, karena ternyata banyak faktor yang membuat virus ini 'mati' tidak bisa dijadikan objek penelitiannya, dan menghambat proses penelitian selanjutnya. Yah begitulah yang kutangkap dari sisi awamku. Tapi menemani Mba Muti seharian di lab, membuatku ogah menjadi peneliti hihihihihi, sunyi sepi begitu suasananya, selain dingin luar biasa. Karena temperature ruangan dibuat sedemikian rendah. Tak ada suara, rasanya kalau daku menarik nafas, hembusannya bisa terdengar saking sepinya. Untunglah Mbak Muti sadar, dipersilahkannya daku berinternet ria biar tidak bosan menemani Mba Muti di Lab.

Teh Ii' lain lagi, sedang berkutat dengan mencit dan daun mengkudu. Daun ini mau dibikin ekstrak, lalu disuntikkan ke mencit. Jadilah depan kamar Teh Ii' seperti hutan belantara, banyak tumpukan daun mengkudu yang nanti dijemur dan selanjutnya dibikin ekstrak. Lupa daku, Teh Ii' mau menjadikan ekstrak daun mengkudu untuk obat apa.

Mendengar mencit, pasti bikin Teh Dhira pingsan dalam sekejab. Teteh ku yang cantik ini, primadona seantero ITB, eyaaah, paling takut dengan tikus beserta anak cucunya termasuk mencit, dan satu lagi, cicak! Pernah karena seekor cicak, dia histeris dan minta tukeran kamar tidur malam itu. Belum lagi, karena banyaknya kardus sepatu di depan kamarnya saat itu, ternyata ada tikus kecil menyelinap dan masuk ke dalam kamarnya, membuatku diseret menginap di kamarnya, menjadi spy jikalau ada si 'mickey mouse' ini tiba-tiba melintas selama dia begadang di depan komputer mengerjakan tugas 'cubing-cubing', pipa-pipa, reservoir, dll. Pasrah daku, mencegah terjadinya 'jeritan di tengah malam' oleh Teh Dhira karena si tikus itu melintas.

Kostan ini begitu kucinta, include suasana dan penghuninya. Disaat semua sibuk, daku dan Lita lah yang masih santai-santai. Semester pertama, mayoritas mata kuliah dasar dan pengantar, masih bisa berleha-leha, main kesana kemari, jelajah Bandung dari angkot satu, ke angkot lainnya, ujung keujung demi mengetahui jalan mana saja yang dilewati, hingga akhirnya hapal jika tujuan kemana, naik angkotnya apa. hal ini daku lakukan di hari-hari perkuliahan yang senggang, agar pengalaman malam pertama di Bandung yang sungguh memalukan dulu itu jangan sampai terulang.

Waktu  itu, sehabis kami pindahan dari Jakarta - Bandung dan mengantar orang tua pulang ke stasiun, kami berniat dari stasiun itu mau lanjut ke BIP, membeli peralatan dan atribut mandi. Di stasiun, kami bertanya angkot apa yang melewati BIP. Dibilang St.Hall-Dago. Naiklah kami angkot tersebut. Asyik kami ngobrol, tak ada penampakan BIP sama sekali hingga kami tersadar kamu sudah tiba di Simpang Dago. Merasa yakin BIP belum terlewati, kami terus menumpang angkot hingga terminal Dago diatas. Ditanyalah sama sang sopir "Bade Kamana, Teteh? Ini sudah habis rutenya." "Kami mau ke BIP" jawab kami dengan polosnya. "Lho, ga tau BIP dimana? Udah lewat atuh Teteh, coba nanya tadi dan bilang minta turun di BIP, pasti saya turunin, sekarang Teteh naik angkot paling depan, soalnya saya masih harus antri narik. Sok lah atuh dipesenin ke sopir depan biar diturunin di BIP." Jadilah begitu kami naik angkot lagi turun dari Dago Atas menuju BIP, si sopir lain yang kami tumpangi angkotnya ini, selalu bilang "Ayo, lewat BIP, Lewat Be I Pe, gak akan nyasar, lewat BIP" ke setiap penumpang yang menyetop angkotnya. Begitu tiba di BIP, si sopir bilang "Nah, Teteh, ini sudah sampai BIP, nanti kalau mau pulang, tanya lagi mau ke mana biar tidak nyasar yah!" Dan kami sukses disenyum-senyumi oleh penumpang seangkot. 


- Bersambung -

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...